IKTERUS NEONATORUM
A. Pengertian
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan
mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu
bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila
konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL.
Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.
Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis, kecuali:
• Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
• Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10 mg/dL.
• Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
• Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
• Ikterus menetap pada usia >2 minggu.
• Terdapat faktor risiko.
Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum.
Bilirubin dapat masuk ke jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah
terdapatnya tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin dalam sel otak.
Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronik. Bentuk akut
terdiri atas 3 tahap; tahap 1 (1-2 hari pertama): refleks isap lemah,
hipotonia, kejang; tahap 2 (pertengahan minggu pertama): tangis
melengking, hipertonia, epistotonus; tahap 3 (setelah minggu pertama):
hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni, motorik
terlambat. Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan,
kehilangan pendengaran sensorial.
B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar
65% mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada
tahun 1998 menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada
minggu pertama.
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah
sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah
Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003,
menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk
kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas
12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan
sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5
mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan
dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin
setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82%
dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan
ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun
2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus
yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.
Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana
insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya
merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka
kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data
insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang
bulan 22,8%.
Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada
tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar
ini mungkin disebabkan oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr.
Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar bilirubin serum
total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik
pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan
metode visual.
C. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:
• Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.
• Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil
transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) ->
penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.
• Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim -> glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:
• Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.
• Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
• Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
• Ibu diabetes.
• Asidosis.
• Hipoksia/asfiksia.
• Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
D. Predisposisi
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum
a. Faktor Maternal
• Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)
• Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
• Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik
• ASI
b. Faktor Perinatal
• Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
• Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c. Faktor Neonatus
• Prematuritas
• Faktor genetic
• Polisitemia
• Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
• Rendahnya asupan ASI
• Hipoglikemia
• Hipoalbuminemia
E. Patofisiologis
Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit.
Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya
pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun mendekati
nilai normal dalam beberapa minggu.
1. Ikterus fisiologis
Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin
serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan
sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir
sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak
pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun
kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul
peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin
terkonyugasi < 2 mg/dL
Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan
faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak
bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan
berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina
cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4
dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus
fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena
polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari
dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar
yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gambar berikut menunjukan metabolisme pemecahan hemoglobin dan
pembentukan bilirubin.
2. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice)
Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus
yang yang berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor
tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus
halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak perlu
khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah.
Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata
laksana khusus meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.
F. Manifestasi Klinis
Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari.
Bayi baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya
kira-kira 6 mg/dl atau 100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1 mikro mol/L).
salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL secara klinis,
sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969).
Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang
tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain.
Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar
bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel
yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.
Derajat Ikterus Daerah Ikterus Perkiraan kadar bilirubin
aterm Prematur
1
2
3
4
5 Kepala sampai leher
Kepala, badan, sampai dengan umbilicus
Kepala, badan, paha, sampai dengan lutut
Kepala, badan, ekstremitas, sampai pergelangan tangan dan kaki
Kepala, badan, semua ekstremitas sampai ujung jari 5,4
8,9
11,8
15,8 -
9,4
11,4
13,3
Sumber: Rachma F. Boedjang, Penatalaksanaan ikterus neonatal, ikterus
padaneonatus
G. Diagnosis
1. Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu
dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubinemia pada bayi. Termasuk dalam
hal ini anamnesis mengenai riwayat inkompatabilitas darah, riwayat
transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu
faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis
dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko tersebut antara
lain adalah kehamilan dengan komplikasi, persalinan dengan
tindakan/komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama
hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes melitus, gawat janin,
malnutrisi intrauterin, infeksi intranatal, dan lain-lain.
2. Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah
lahir atau beberapa hari kemudian. Ikterus yang tampak pun sangat
tergantung kepada penyebab ikterus itu sendiri. Pada bayi dengan
peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai
jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna
kuning kulit terlihat agak kehijauan. Perbedaan ini dapat terlihat pada
penderita ikterus berat, tetapi hal ini kadang-kadang sulit dipastikan
secara klinis karena sangat dipengaruhi warna kulit. Penilaian akan
lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.
Selain kuning, penderita sering hanya memperlihatkan gejala minimal
misalnya tampak lemah dan nafsu minum berkurang. Keadaan lain yang
mungkin menyertai ikterus adalah anemia, petekie, pembesaran lien dan
hepar, perdarahan tertutup, gangguan nafas, gangguan sirkulasi, atau
gangguan syaraf. Keadaan tadi biasanya ditemukan pada ikterus berat atau
hiperbilirubinemia berat.
3. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti yang penting pula dalam
diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus
mempunyai kaitan yang erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.
Ikterus yang timbul hari pertama sesudah lahir, kemungkinan besar
disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah (ABO, Rh atau golongan
darah lain). Infeksi intra uterin seperti rubela, penyakit sitomegali,
toksoplasmosis, atau sepsis bakterial dapat pula memperlihatkan ikterus
pada hari pertama. Pada hari kedua dan ketiga ikterus yang terjadi
biasanya merupakan ikterus fisiologik, tetapi harus pula dipikirkan
penyebab lain seperti inkompatibilitas golongan darah, infeksi kuman,
polisitemia, hemolisis karena perdarahan tertutup, kelainan morfologi
eritrosit (misalnya sferositosis), sindrom gawat nafas, toksositosis
obat, defisiensi G-6-PD, dan lain-lain. Ikterus yang timbul pada hari ke
4 dan ke 5 mungkin merupakan kuning karena ASI atau terjadi pada bayi
yang menderita Gilbert, bayi dari ibu penderita diabetes melitus, dan
lain-lain. Selanjutnya ikterus setelah minggu pertama biasanya terjadi
pada atresia duktus koledokus, hepatitis neonatal, stenosis pilorus,
hipotiroidisme, galaktosemia, infeksi post natal, dan lain-lain.
H. Penatalaksaan
Ikterus Fisiologis
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa
pada bayi sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin
tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi
ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:
• Minum ASI dini dan sering
• Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
• Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan
kontrol lebih cepat (terutama bila tampak kuning).
Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan
sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat
pada minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di
Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar.
Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)
• Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.
• Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir <
2,5 kg, lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
• Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
a. Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi sinar.
b. Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar, lakukan terapi sinar
c. Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab
hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji
saring G6PD bila memungkinkan.
• Tentukan diagnosis banding
Tata laksana Hiperbilirubinemia
Hemolitik
Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau
golongan darah ABO antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada
bayi. Tata laksana untuk keadaan ini berlaku untuk semua ikterus
hemolitik, apapun penyebabnya.
• Bila nilai bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan terapi sinar.
• Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:
• Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi tukar,
kadar hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%) dan tes Coombs
positif, segera rujuk bayi.
• Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk
dilakukan tes Coombs, segera rujuk bayi bila ikterus telah terlihat
sejak hari 1 dan hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%).
• Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:
• Persiapkan transfer.
• Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter dengan fasilitas transfusi tukar.
• Kirim contoh darah ibu dan bayi.
• Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi menjadi kuning, mengapa perlu dirujuk dan terapi apa yang akan diterima bayi.
• Nasihati ibu:
• Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas Rhesus, pastikan ibu
mendapatkan informasi yang cukup mengenai hal ini karena berhubungan
dengan kehamilan berikutnya.
• Bila bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan kepada ibu untuk
menghindari zat-zat tertentu untuk mencegah terjadinya hemolisis pada
bayi (contoh: obat antimalaria, obat-obatan golongan sulfa, aspirin,
kamfer/mothballs, favabeans).
• Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%), berikan transfusi darah.
• Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi cukup bulan
atau 3 minggu lebih lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau
lahir sebelum kehamilan 37 minggu), terapi sebagai ikterus
berkepanjangan (prolonged jaundice).
• Follow up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin setiap minggu
selama 4 minggu. Bila hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit < 24%),
berikan transfusi darah.
Ikterus Berkepanjangan (Prolonged Jaundice)
• Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada
neonatus cukup bulan, dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.
• Terapi sinar dihentikan, dan lakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab.
• Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap, persiapkan
kepindahan bayi dan rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus
untuk evaluasi lebih lanjut, bila memungkinkan.
• Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis kongenital.
I. Asuhan Kebidanan pada bayi yang mengalamai Ikterus Neonatorum
1.Melakukan perawatan tali pusat
a. Tali pusat selalu dalam keadaan kering
b. Tali pusat harus dibungkus dengan kassa steril
c. Kebersihan harus selalu dijaga dengan cara mengganti kasa bila kotor
2. Menjaga bayi agar tidak hipotermi
a. Membungkus bagi dengan kain yang bersih, kering dan hangat
3.Membantu penurunan kadar bilirubin pada bayi
a. Menghangatkan/melakukan penyinaran pada bayi di bawah sinar matahari
di pagi hari selama 15-20 menit antara pukul 07.00 – 08.00 pagi.
4.Membantu ibu untuk menyusui bayinya sesegera mungkin
5.Memberikan imunisasi hepatitis B ke-1 pada bayi baru lahir
6.Menjelaskan tanda-tanda bahaya BBL :
a. Warna kulit kuning terutama 24 jam pertama (kulit berwarna biru/pucat).
b. Tali pusat merah, bengkak, berbau busuk, keluar cairan atau nanah
c. Bayi kejang
d. Menghisap lemah, banyak muntah, mengantuk belebihan
e. Tidak BAK dan BAB 24 jam pertama
7.Melakukan pemantauan bayi baru lahir
a. Kemampuan menghisap
b. Keaktifan bayi
c. Keadaan umum bayi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar